15 November 2013
DPR telah menetapkan APBN 2014 sebesar 1.842,49 triliun rupiah. Komposisinya, Belanja Pemerintah Pusat 1.249,94 triliun rupiah (70 persen) dan alokasi untuk Pemerintah Daerah 529,55 triliun rupiah (30 persen). Defi sit anggaran dalam postur APBN ditetapkan 1,69 persen dari PDB atau sekitar 175,3 triliun rupiah ditutup utang. Rencana penerimaan negara dan hibah ditetapkan sebesar 1.667,14 triliun rupiah.
Ini terdiri dari pendapatan pajak 1.280,39 triliun rupiah, bukan pajak 385,39 triliun rupiah dan hibah 1,36 triliun rupiah. Penerimaan APBN 2014 ditetapkan naik 11 persen dari APBN-P 2013 atau dari 1.502 triliun rupiah menjadi 1.667,14 triliun rupiah. Pengeluaran juga naik 6,7 persen dari 1.726,2 triliun rupiah menjadi 1.842,49 triliun rupiah. Meskipun APBN terus meningkat, PDB juga naik pesat, perekonomian tumbuh, pendapatan per kapita juga diklaim naik, tidak diikuti peningkatan kesejahteraan rakyat yang signifi kan. Jumlah rakyat miskin nyaris tidak berkurang.
Ini mengindikasikan ada kesalahan besar dalam APBN yang sebagian besar penerimaannya dari pajak rakyat, tidak berkontribusi nyata meningkatkan kesejahteraan warga. Kesenjangan ekonomi pun tampak semakin lebar. Globe Asia (Juni, 2011), pernah mengalkulasi bahwa akumulasi kekayaan dari 150 orang Indonesia telah mencapai 12 persen dari PDB, sedangkan menurut Bappenas, 80 persen aset ekonomi Indonesia hanya dikuasai 2.000 orang. Dengan nilai 1.800 triliun rupiah lebih, rakyat memiliki segudang harapan terhadap APBN tersebut.
Namun besarnya APBN belum membawa berkah bagi rakyat, tapi malah membebani. Salah satu doktrin ekonomi liberal, negara tidak boleh campur tangan langsung dalam perekonomian. Maka terjadilah privatisasi semua sektor, termasuk pelayanan kepada rakyat. Privatisasi pengelolaan sumber daya alam (SDA) menyebabkan dikuasai swasta asing. Banyak BUMN juga diprivatisasi.
Akibatnya, meskipun usia kemerdekaan sudah 68 tahun dan memiliki kekayaan SDA melimpah, hingga kini masih banyak didaulat perusahaan negara asing. Dampak liberalisasi ekonomi, pemerintah kehilangan sumber pendapatan harta milik umum dan negara yang hanya mendapat sebagian kecil melalui pajak atau pembagian laba penyertaan modal. Penerimaan negara akhirnya makin besar andalkan pajak. Artinya, bertumpu pada pungutan terhadap rakyat. Pada APBN 1998/1999 penerimaan negara relatif imbang antara penerimaan pajak dan nonpajak (SDA migas dan nonmigas). Tapi, sejak tahun 2002, pemerintahan meningkatkan sumber penerimaan pajak di atas 70 persen. Tahun 2006 sebesar 75,2 persen, tahun 2013 sebesar 78 persen, dan APBN 2014 penerimaan pajak mencapai 84 persen.
Itu artinya, pungutan terhadap rakyat makin besar dari tahun ke tahun. Akibat liberalisasi, negara harus mencabut dan mengurangi subsidi karena dianggap bertentangan dengan prinsipprinsip liberalisasi termasuk subsidi untuk pelayanan rakyat yang akhirnya dipaksa membiayai pelayanan sendiri seperti pendidikan dan kesehatan. Utang Kesalahan mendasar terus-menerus, penyusunan APBN bersumber pada sistem ekonomi kapitalisme liberal. Dalam konteks APBN, kekeliruan paradigma tercermin dalam penganutan konsep anggaran berimbang dan liberalisasi ekonomi. Dalam konsep defi sit, utang luar maupun dalam negeri dalam bentuk surat utang negara (SUN) katanya untuk membangun perekonomian. Utang luar negeri dari negara dan lembaga donor selama ini terbukti menjadi alat ampuh mendikte kebijakan dan penjajahan. Utang luar negeri lebih banyak menguntungkan kreditor karena adanya net transfer, yang masuk lebih kecil dari keluaran. Sebenarnya, utang luar negeri merupakan skenario penjajahan modern karena dijadikan alat untuk mendikte kebijakan politik dan ekonomi.
Sering kali, syarat pencairan utang mengharuskan mengubah kebijakan, peraturan, bahkan hingga undang-undang sesuai dengan saran kreditor. Contoh, pencabutan subsidi. Kebijakan terus berutang telah membuat negeri ini masuk dalam perangkap yang sulit dibayar. Total utang pemerintah pusat per 30 September 2013 sudah mencapai 2.274 triliun rupiah, terdiri dari 684 triliun rupiah pinjaman luar negeri 1.590 triliun rupiah surat berharga negara (SBN). Artinya, 240 juta rakyat, termasuk bayi yang baru lahir, tiap pribadi terbebani utang 9,475 juta rupiah. Utang yang terus menggunung membebani negara lewat pembayaran bunga dan cicilan pokok.
Kementerian Keuangan mencatat cicilan utang pemerintah (pokok dan bunga) selama 9 bulan 2013 mencapai 201,9 triliun rupiah (cicilan pokok 118,7 triliun rupiah dan bunga 83,2 triliun rupiah). Rencana cicilan pokok dan bunga utang tahun ini sebesar 299,7 triliun rupiah (cicilan pokok 186,5 triliun rupiah dan bunga 113,2 triliun rupiah) atau 17,3 persen dari belanja APBN-P 2013. Sementara untuk tahun 2014, pembayaran bunga utang saja ditetapkan 121 triliun rupiah. APBN 2014 masih diperparah dengan kebijakan belanja yang boros, tidak prorakyat, tak efektif dan kecil untuk bisa mendorong perekonomian.
Ada beberapa indikasi yang menunjukkannya karena itu sebagian besar belanja untuk kepentingan birokrasi dan pemerintah sendiri. Dari belanja APBN 2014 sebesar 1.842,2 triliun, sektar 1.249,9 triliun untuk pemerintah pusat. Sisanya, 592,5 triliun (30 persen) ditransfer ke daerah. Anggaran yang berhubungan langsung dengan rakyat seperti subsidi energi dan bantuan sosial turun. Anggaran subsidi energi (BBM dan listrik) tahun 2014 dianggarkan 282 triliun rupiah. Ini turun dari 299,9 triliun rupiah dalam APBN-P 2013. Subsidi listrik turun dari 100 triliun rupiah di APBN-P 2013 menjadi 71,7 triliun rupiah.
Maka hampir bisa dipastikan, tarif listrik akan naik tahun depan. Anggaran bantuan sosial juga turun dari 82,4 triliun rupiah menjadi 55,8 triliun rupiah. Untuk menyelamatkan generasi, khususnya dari utang luar negeri, ke depan, pemimpin negeri ini harus mau dan berani menyetop utang. Utang jangan lagi dimasukkan sebagai sumber pendapatan APBN. Pemimpin harus berani menjadwal kembali pembayaran utang pokok. Anggaran seharusnya difokuskan pada pemenuhan berbagai kebutuhan rakyat, tanpa pencitraan politik pragmatis.
Di samping itu, dia harus berani mengambil-alih kembali sumber-sumber kekayaan alam yang telanjur diserahkan ke asing atas nama program privatisasi. Sebab, harus diakui bahwa pada saat pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk membiayai APBN secara layak dan terjebak utang, swasta dan investor asing justru menikmati pendapatan tinggi dari sektor-sektor ekonomi yang seharusnya dimiliki rakyat. Maka, sudah saatnya negara mengelola secara langsung kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Jangan menyerahkan penguasaannya kepada swasta atau asing.
Oleh Ir Sumaryono MM
Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/133504
Tidak ada komentar:
Posting Komentar