Kamis, 09 April 2015

Pilih Raskin daripada Nasi Aking

Kamis, 9 April 2015

Taska Eko Sonjaya (52), Kamis (26/2), di rumahnya di Kelurahan Kesambi,  Kota Cirebon, Jawa Barat. Eko dan keluarganya tak mampu membeli beras yang harganya terus naik. Pendapatan Eko sebagai tukang becak  tak menentu. Ia menyelingi menu makanan keluarga dengan nasi aking untuk menghemat pengeluaran. Karena itu, raskin menjadi tumpuan bagi warga ekonomi lemah untuk mendapatkan asupan gizi memadai.
.
Taska Eko Sonjaya (52), Kamis (26/2), di rumahnya di Kelurahan Kesambi,  Kota Cirebon, Jawa Barat. Eko dan keluarganya tak mampu membeli beras yang harganya terus naik. Pendapatan Eko sebagai tukang becak  tak menentu. Ia menyelingi menu makanan keluarga dengan nasi aking untuk menghemat pengeluaran. Karena itu, raskin menjadi tumpuan bagi warga ekonomi lemah untuk mendapatkan asupan gizi memadai.
KOMPAS/RINI KUSTIASIH

Wacana penggantian beras untuk warga miskin alias raskin dengan uang tunai sempat bergulir dua pekan lalu. Padahal, kenyataannya raskin masih sangat dibutuhkan. Raskin masih tetap membantu banyak warga negara ini. Dengan alokasi raskin hampir 3 juta ton setahun dan masing-masing dipatok jatah 15 kilogram per rumah tangga sasaran per bulan, belasan juta rumah tangga bisa mendapat sumber pangan memadai.

Di lapangan, jumlah penerima raskin yang dibagikan sejak 17 tahun lalu itu membengkak karena jatah untuk penerima dibagi ke warga lain yang juga membutuhkan. Itu terjadi jika jatah yang diterima di satu desa, misalnya, tidak mencukupi untuk semua warga yang berhak mendapatkan. Aparat pemerintah biasanya mengurangi jatah penerima yang terdaftar untuk dibagikan kepada warga lain yang juga membutuhkan.

Dengan harga tebus Rp 1.600 per kilogram, raskin sangat membantu warga yang berpenghasilan pas-pasan, bahkan kekurangan. Untuk mendapatkan 15 kilogram raskin, warga hanya mengeluarkan uang Rp 24.000. Dengan jumlah uang yang sama, saat harga beras melambung menjadi Rp 9.000-Rp 12.000 per kilogram sebelum musim panen, warga hanya mendapat sekitar 2 kilogram beras.

Berdasarkan Pedoman Umum Raskin 2015 yang diterbitkan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, jumlah penerima raskin tahun ini 15.530.897 rumah tangga sasaran. Beras yang dialokasikan 2,79 juta ton.

Oleh karena itu, ketika wacana penggantian raskin dengan uang tunai mengemuka, sejumlah pihak tegas menolak. Wakil Gubernur Jawa Timur Syaifullah Yusuf adalah satu di antara sekian pejabat pemerintah daerah yang menolak rencana itu. Dia dan sejumlah kalangan, baik warga penerima raskin, petani, maupun beberapa pihak lain, khawatir uang pengganti raskin akan digunakan untuk keperluan lain. Saat itu terjadi, warga kurang mampu kembali akan terjerat kesulitan mendapatkan beras.

Saifullah Yusuf, di Surabaya, Selasa (24/3), menegaskan, penyaluran raskin tetap berupa beras bukan uang tunai. Alasannya, jika diberikan uang, penggunaan dikhawatirkan bukan untuk kebutuhan pokok.

Menurut Saifullah, yang perlu dibenahi dalam penyaluran raskin adalah agar warga yang menikmati benar-benar yang layak menerima, tidak salah sasaran, seperti yang terjadi saat ini. "Program raskin tidak sekadar bagi-bagi beras, tetapi untuk menyeimbangkan harga beras serta membantu penduduk miskin. Kalau dibagikan uang tunai, yang dibeli bukan beras atau singkong, tetapi pulsa atau barang lain," katanya.

Kualitas buruk

Wacana penggantian raskin dengan uang tunai bukan tanpa sebab. Kualitas sebagian raskin yang sangat buruk adalah salah satunya, selain masih kurang bagusnya manajemen penyaluran.

Manajemen penyaluran yang kurang baik, membuat raskin disalahgunakan. Kejaksaan Negeri Biak, Papua, misalnya, menemukan penyalahgunaan beras untuk orang miskin di Distrik Aimando, Kabupaten Biak Numfor. Total penyalahgunaan beras sekitar 9 ton.

Kepala Kejaksaan Negeri Biak Made Jaya Ardana, Jumat (3/4), menyebutkan, kasus ini terungkap dari pengaduan sejumlah warga dari empat desa di Distrik Aimando, yang merasa kesal karena tak pernah menerima raskin pada periode 2012-2014. Ardana menyatakan, dari hasil penghitungan sementara, total kerugian negara lebih dari Rp 4 miliar.

Ketua Dewan Riset Jawa Tengah Daniel D Kameo, Senin (23/3), di Semarang, mengatakan, penggantian raskin dengan uang tunai terkait dengan banyaknya keluhan warga penerima raskin, terutama soal kualitas beras yang kurang baik. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menemukan sekitar 240 ton raskin berkualitas buruk di sejumlah gudang pada awal Februari 2015.

"Program raskin sudah berlangsung 17 tahun. Program itu semestinya bisa dikelola dengan baik, termasuk penyediaan raskin makin berkualitas. Namun, kenyataannya problem raskin selalu sama, yakni mutu beras jelek, beras berkutu, dan tak layak dimakan," ujar Daniel.

Penggantian raskin dengan uang tunai, kata Daniel, dapat mendorong warga mengonsumsi bahan pangan alternatif sesuai program diversifikasi pangan yang digariskan pemerintah.

Kondisi sebagian raskin yang buruk membuat bahan pangan itu tidak layak untuk dikonsumsi. Kualitas beras yang berkutu, kotor, bulukan, hanya layak untuk dikonsumsi ternak. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika sebagian penerima raskin menjual jatah mereka.

Nasi aking

Salah satu kekurangan inilah yang harus dibenahi meskipun Perum Bulog telah menjamin bahwa raskin adalah beras dengan kualitas setara beras kelas medium. Dengan mendapat raskin, warga kurang mampu akan tetap mampu mengonsumsi pangan memadai yang dibutuhkan tubuh mereka. Sebab, raskin tetap lebih baik dari pangan jenis lain yang sebenarnya tidak layak konsumsi, seperti nasi aking.

Nasi sisa yang dikeringkan kemudian ditanak lagi telah lama dikonsumsi sebagian warga di masa paceklik. Nasi aking menjadi pilihan karena harganya murah meski tidak semurah harga tebus raskin.

Sebagian warga Kabupaten Indramayu, daerah sentra penghasil beras di pantai utara (pantura) Jawa Barat, misalnya, terpaksa mengonsumsi nasi aking gara-gara ketidakmampuan mereka. Harga beras yang mahal membuat sebagian warga di daerah itu kesulitan mendapatkan beras kualitas layak dengan harga terjangkau. Mereka terpaksa mengonsumsi nasi aking.

Warni (35), warga Krangkeng, Indramayu, Kamis (26/2), misalnya, tidak mampu membeli beras pada hari itu. Dengan terpaksa, dia menyuapi anaknya yang berusia tiga tahun, Rizki, dengan nasi aking. Namun, si anak menolak makanan yang tidak enak dikonsumsi itu.

Bagi sebagian warga Krangkeng, mengonsumsi nasi aking sudah menjadi rahasia umum. Mereka sebenarnya malu mengungkapkan secara terbuka. Namun, kemampuan ekonomi yang terbatas memaksa mereka memakan sumber pangan apa saja yang ada, termasuk nasi aking. Nasi itu oleh warga biasanya diolah dengan dikukus atau diliwet. Untuk menambah cita rasa, nasi aking biasanya diberi parutan kelapa dan garam.

Saat harga beras mahal, warga menyiasati perut yang lapar dengan nasi aking. Mereka mendapatkan nasi aking dengan memanfaatkan sisa nasi keluarga atau membeli dari pedagang yang menjajakan keliling kampung. Satu kilogram harganya Rp 2.500, lebih mahal dari harga tebus raskin.

Taska Eko Sonjaya (52), bapak lima anak, warga Kelurahan Kesambi, Kota Cirebon, yang bekerja sebagai tukang becak, kadang-kadang makan nasi aking. Pendapatannya yang tak menentu membuat dia tidak setiap hari mampu makan nasi.

Sementara itu ketidakmampuan membeli beras setiap hari, terutama saat harga beras mahal, membuat sebagian warga Dusun Petiran, Desa Pagergunung, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, mengonsumsi nasi jagung.

Pipit (40), ibu rumah tangga di Pagergunung, mengatakan, ketika harga beras melonjak, dia dan keluarga kembali pada kebiasaan lama, mengonsumsi nasi jagung. Jagung diperoleh dari ladang sendiri. Lahan seluas 0,5 hektar miliknya mampu menghasilkan 2 kuintal jagung.

Di tengah-tengah kenaikan harga sejumlah komoditas, raskin menjadi penolong sebagian warga negara ini. Raskin tetap dibutuhkan dan tentu lebih baik daripada nasi aking.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar